Selasa, 24 Maret 2009

Kybernology

(Ilmu Pemerintahan Baru)
“It took less than an hour to make the atoms, a few hundred years to make the star and planets, but three billion years to make man”
George Gamow, the creation of universe (1952)

Istilah Bestuurkunde atau yang kemudian menjadi Bestuurswetenschappen menjadi Ilmu pemerintahan dalam bahasa Indonesia semakin menunjukkan ketidak sepandanan yang mengakibatkan perubahan khususnya Ilmu pemerintahan mejadi the others bagi ilmu-ilmu induknya. Gejala-gejala perubahan ke arah tersebut mulai terlihat sepanjang tahun 90-an, terjadi berbagai peristiwa tentang dan sekitar ilmu pemerintahan di Indonesia.
Pertama, perubahan paradigma ilmu Pemerintahan sebagai bagian integral ilmu politik menjadi ilmu Pemerintahan yang ber-Interface dengan ilmu-ilmu lain di lingkungan ilmu sosial, khususnya ilmu politik dan ilmu administrasi negara.
Kedua, semakin jelas perbedaan antara bahan dan (konstruksi) bangunan Ilmu administrasi (publik) dengan bahan dan bangunan ilmu pemerintahan.
Ketiga, derajat keilmuan Ilmu Pemerintahan meningkat, dari derajat S1 memasuki derajat S2 (Magister, sejak 1996), dan S3 (Doktor, sejak 2000).
Keempat, perubahan pembelajaran dan penggunaan Ilmu Pemerintahan dari Ilmunya (kebutuhan) pegawai negeri khususnya di lingkungan Departemen Dalam Negeri menjadi Ilmunya (kebutuhan) setiap orang sebagai alat untuk menumbuhkan hubungan pemerintahan yang dinamik berorientasi pembaruan antara yang diperintah dengan pemerintah dalam rangka memenuhi tuntutan setiap orang akan jasa-publik dan layanan-civil.
Kelima, penerapan Metodologi kualitatif untuk penelitian di lingkungan ilmu Pemerintahan.
Keenam, penggunaan Teknologi Informasi (TI) dalam Ilmu Pemerintahan yang disebut e-goverment
Ketujuh, adalah aliran “Reiventing Government” David Osborne dan Ted Gaebler (1993) yang sedikit banyak mempengaruhi pemikiran, kebijakan, program dan pelatihan pegawai di Indonesia sampai sekarang.
Kedelapan, pemikiran, kebijakan, program, dan diklat pemerintahan sepanjang tahun 90-an diilhami oleh semangat riventing government Osborne dan Gaebler (1993) yang oleh Amerika diekspor ke berbagai negara.
Kesembilan, suasana tahun 90-an di Indonesia sedikit banyak mempunyai persamaan dengan suasana tahun 60-an abad lalu di Amerika, sebuah periode yang disebut the time turbulence, yang melahirkan the new public administration atau yang oleh George Frederickson (1997,8) kemudian dijuluki the new governance.
Kesepuluh, erat berkaitan dengan hal kesembilan di atas. Satu-satunya jawaban yang terhadap tantangan di atas adalah back to basic. Dengan mengembalikan konsep government dan governance.

Kesepuluh hal tersebut merupakan beberapa sebab yang disorot dalam buku yang berjudul KYBERNOLOGY (Ilmu Pemerintahan Baru) dalam proses pengembalian makna Bestuurswetenschapen menjadi Kybernologi. Bestuurskunde berasal dari dua kata Belanda: bestureni (mengemudi; Inggris Steering) dan Kunde (kepandaian; Inggris craft, skill).Bestuurskunde berkembang menjadi Bestuurswetenschap, Bestuurswetenschappen (jamak). Steering dalam bahasa Latin adalah gubernare, sedangkan dalam bahasa Gerik (Greek) kybernan. Gubernare berubah menjadi Gubernantia dan dari sini terbentuk kata governance.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penerjemahan Bestuurkunde dan kemudian bestuursweetenschap (pen) yang lahir dalam masyarakat barat atau demokratik menjadi ilmu pemerintahan bagi bangsa yang menganut paham pemerintahan seperti di atas, tidak tepat. Menurut tradisi akademik sifat ilmiah suatu pengetahuan ditandai dengan kata logos atau logi (logy). Jika demikian ada dua opsi padanan Bestuurswetenschap(pen): Gubernologi atau Kybernology. Mengingat kata Gubernare telah berkembang menjadi governance dan government, dan dalam bahasa Indonesia telah menjadi Gubernur, maka Kybernologi (kybernology) yang digunakan menjadi padanannya.
Buku ini bisa dianggap buku Panduan Ilmu Pemerintahan dengan paradigma baru di mana Ilmu Pemerintahan ini saat ini menjadi The Others terhadap ilmu induk sebelumnya yaitu politik. Di dalam buku ini diulas secara menyeluruh bagian-bagian Kybernologi. Dengan menitikberatkan pembahasan pada persoalan reiventing people, reiventing government, dan reegenering government memperlihatkan bagimana ilmu pemerintahan terus berkembang menjadi Kybernologi, berikut cakupan-cakupannya yang merupakan pendekatan lintas (trans) disiplin ilmu, seperti manajemen pemerintahan, organisasi pemerintah, koordinasi pemerintahan, teologi pemerintahan, etika pemerintahan, budaya pemerintahan, asas-asas pemerintahan dan lain-lain.
Buku ini sarat dengan berbagai istilah pemerintahan yang berasal dari bahasa asing dalam bahasa aslinya, tata bahasa dan pemilihan kata yang sulit dan berat bisa mempersulit pembaca yang masih awam dan karena itulah buku ini sangat cocok dan dianjurkan bagi pembaca yang berasal dari kalangan akademis dan praktisi yang mengkaji dan bergelut dalam bidang pemerintahan. Sebagai bahan acuan dan panduan bagaimana arah ilmu pemerintahan ke depannya.
Buku ini telah menjadi buku yang sangat berharga dalam bidang ilmu pemerintahan dalam menunjukkan bagaimana perkembangannya khususnya di Indonesia. Kepiawaian si Pengarang Tliziduhu Ndraha, yang namanya sudah asing lagi khususnya di kalangan akademisi Ilmu Pemerintahan di Indonesia, dalam mengolah buku berjudul Kybernologi ( Ilmu Pemerintahan Baru) ini.

Reformasi Politik

REFORMASI POLITIK

Selama ini reformasi akan selalu dipahami sebagai sebuah bentuk perubahan yang selalu berkaitan dengan radikalisme. Hanya saja terkadang reformasi juga memiliki maksud yang sama dengan revolusi. Meskipun begitu ada anggapan bahwa reformasi di sini dimaksudkan sebagai ajang pembaharuan dan penataan ulang struktur yang telah ada. Makna cakupan reformasi terkadang tidak memiliki limitasi yang jelas dan belum ada rumusannya.
Gerakan reformasi secara jelas mulai muncul sejak terjadinya protes sosial dari Marthin Luther terhadap absolutisme gereja Katholik (abad 16). Sehingga terjadilah pemisahan antarakaum ortodoks dan protestan. Mayoritas Reformasi terbentuk karena kekecewaan dan adanya kesewenang-wenangan dari pemimpin suatu umat, sehingga menimbulkan kesenjangan yang jauh diantara sisi hidup mereka.
Gerakan Reformasi timbul akibat maju dan pesatnya arena demokrasi, dimana kebebasan dan kekuatan mayoritas adalah segalanya. Dan tidak jarang kebebasan dijadikan kiblat bagi bagi mereka. Asas kesamaan dan keadilan adalah pemicu dari timbulnya gerakan ini, rasa kekecewaan, merasa tidak diperhatikan, kesenjangan sosial, arena absolutisme, dan totalitalitarianisme. Gerakan reformasi juga menandai dimana sebuah negara mengawali karier demokrasinya.
Menurut Linz, reformasi selalu diawali dengan adanya penggulingan, yang terjadi dari jalur atas dimana penguasa melakukan berbagai perombakan dan inisiatif untuk melakukan perubahan yang mendasar seperti melakukan liberalisasi politik, mminimalisir kontrol represif, merombak aturan main politik dan melakukan perubahan yang mendasar seperti melakuakan pemilihan langsung oleh rakyat.
Kecenderungan yang muncul akibat erakan ini bisa saja dimanfaatkan oleh elit politik untuk memperoleh kekuasaan dan jabatan politis. Selain itu juga bisa dimanfaatkan oleh kaum militeris untuk mempertahankan hak-haknya dalam pemerintahan. Michael Bratton (1994) mengemukakan reformasi politik adalah perubahan kepemerintahan (governance) yang meliputi : perubahan mekanisme pemilu dan sistem partai politik, amandemen konstitusi dan limitasi kekuasaan pemegang kekuasaan, dan perubahan administratif yang menuntut akuntabilitas dan transparansi. Sehingga berakibat langsung pada struktur politik pemerintahan yang ada.
Ciri khas terjadinya reformasi politik adalah adanya perubahan mendasar dan masa transisi yang diawali oleh suatu keadaan yang serba tidak pasti, menurut O’donnel dan schmitter reformasi politik akan diawali oleh suatu masa dimana lembaga-lembaga politik mulai mandul dan terjadi mobilisasi besar-besaran. Seperti halnya terjadi di Indonesia pada tahun 1998 lalu dimana mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran menggulingkan pemerintahan Soeharto.
Bangkit dan munculnya partai-partai politik mengidentifikasikan majunya sistem politik yang telah dibangun. Peristiwa ini bahkan merupakan reformasi politik yang patut dibanggakan. Tetapi perlu diperhatikan paradoks dari reformasi politik ini dimana tidak menutup kmungkinan suatu saat nanti akan terjadi konflik horizontal (agama, suku, ras dsb) sebab tidak akan ada lagi konflik vertikal antara elit politik (presure dan interest group dsb.). Selain itu juga tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu kondisi masyarakat yang apatis atau bahkan sebaliknya yaitu masyarakat yang radikalis, anarkis yang timbul akibat profil sosok seorang pemimpin negara yang tidak kharismatis, rendahnya posisi pemimpin negara dihadapan masyarakat dan tuntutan masyarakat yang semakin tak terbendung.
Menurut Huntington, terjadinya reformasi politik harus diawali dengan terpenuhnya syarat pembinaan negara bangsa(nation state building) untuk menjaga terjadinya perubahan yang sangat cepat dan tidak teratursehingga stabilitas nasional etap terjaga. Rustow juga merekomendasikan harus ada konsensus tentang komunitas politik yang legitimate dan didukung oleh komponen warga negara. Sehingga diharapkan mampu meminimalisir terjadinya konflik politik lanjutan dan menopang bangunnya demokrasi.
Karena itu, masa transisi seperti yang ada di Indonesia sekarang ini yakni masa-masa serba sulit dan penuh perjuangan haruslah disikapi dengan kebijakan politis yang transparan dan akuntabel. Satu hal kita harus melakukan konsolidasi politik sehingga mereduksi terjadinya arus balik otoritarianisme, selain memperkuat basis kelembagaan negara sehingga reformasi yang dibangun serta menghasilkan demokratisasi ini mampu mencegah disintegrasi bangsa....

Minggu, 22 Maret 2009

MEMAHAMI HIRARKI DALAM STRATIFIKASI SOSIAL

Dalam pergaulan ,manusia cendrung mengklasifikasikan diri dalam posisi- posisi sosial, yang menyebabkan masyarakat terbagi dalam berbagai lapisan sesuai dengan sistem erarki yang umum berlaku .

Masyarakat di manapun, memiliki sistiem –sistem erarki dan dalam hirarki ini , para anggota masyarakat ditempatkan pada posisi sosial tertentu, baik itu tinggi maupun rendah dan biasanya ini terlihat saat mereka saling berinteraksi pada kumunitasnya .

Bagaimanakah hirarki dapat terbentuk dan berkembang dalam suatu kumunitas berikut kutipan tentang terbentuknya hirarki dalam strata sosial yang diambil dari Buku pengantar Sosiologi karangan Drs. DA Wila Huki BA sebagai berikut :

Stratifikasi dianalogikan pada istilah geografi, yang menunjukan adanya perbedaan diatara lapisan tanah atau sejenisnya, masyarakat pun mempunyai beberapa lapisan ( stratum) sosial yang merupakan katagori – katagori,katagori – katagori ini terbentuk berdasarkan kriteria tertentu, yang biasanya diketehui secara umum oleh anggota masyarakat yang bersangkutan atau pada komunitas tertentu hal ini menuntut kemampuan masyarakat membentuk dan memiliki skala evaluasi vertikal yang disebut kriteria sosial. Dalam sekala ini populasi diukur kemudian ditempatkan dalam bagian atau stratum yang ada di dalam komunitasnya.

Kreteria sosial ini dianggap bermakna oleh komunitasmya dan ini bervariasi dari satu kumunitas dengan kumunitas lainnya di masyarakat dan kriteria tersebut beraneka ragam, karena sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, nilai dan latar belakang masing-masing masyarakat, stratafikasi sosial, juga menunjukan status sosial seseorang di dalam komunitasnya.

Dengan demikian posisi sosial seseoarng atau kelompok dalam hubungan dengan pihak yang lain, sesuai dengan rengking yang di tetapkan kumunitasnya/ kelompok baginya rangking ini ditetapkan berdasar pada keriteria sosial yang terdiri dari nilai sosial dalam kumunitas itu sendiri. Dalam masyarakat tertentu, pendapatan dan kekayaan materi menjadi kriteria yang terpenting bagi penentuan status sosial. Dalam masyarakat yang berbeda, Kasta, nama keluarga dan latar belakang kehidupan yang menjadi kriteria sosial. Ada pula penilaian dari kumunitas tertentu yang mendasarkan penilaiannya pada pendidikan dan pemilikan tanah namun kriteria yang bagaimanapun bentuknya , yang jelas semuanya berfungsi untuk menilai dan menempatkan orang –orang atau kelompok dalam beberapa strata , dalam system hirarki kelompok /masyarakat

Mengingat kutipan ini diambil dari seorang penulis yang berorentasi pada Sosilogi oleh karenanya penerapan dalam bidang Kepolisian tentu pernyataan diatas dapat

diterjemahkan menjadi orientasi yang lebih pokus pada dinamika Kepolisian dimana secara intern, erarki sesuai “ stratum “ di tubuh Polri telah ada dan mutlak diperlukan untuk memudahkan dalam menjalankan fungsi manajerial , anggota Polri ditutntut menyadari dan mampu memahami stratum dalam pelaksanaan tugas/kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan yang berlaku (pangkat dan jabatan) untuk mencapai tujuan organisasi guna menghindari disiplin semu di tubuh organisasi. Sedangkan secara ektern diharapkan anggotaPolri mampu menagkap keberadaan stratum sosial yang ada di masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya dilapangan hal ini penting untuk mengenali tokoh tokoh di masyarakat dalam menepatkan ketokohan mereka secara erarki sesuai setratumnya di masyarakat di dalam memecahkan suatu permasalahan bertalian dengan Perpolisian masyarakat .



e-Government

e-Government

(Antara Desakan dan Kebutuhan)


E-Government oleh world bank didefinisikan sebagai penggunaan teknologi informasi, seperti jaringan internet maupun intranet dalam tata laksanan kerja pemerintahan. Departaman Dalam Negeri diketahui berencana membangun Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP) menggunakan teknologi informasi dengan nilai anggaran sebesar Rp. 186 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp. 130 miliar diantaranya digunakan untuk biaya infrastruktur teknologi informasi. Nilai anggaran sebesar itu tersebut tertuang dalam Surat Mendagri No.910/401/SJ dan telah diajukan oleh Mendagri kepada Komisi II dan Panitia Anggaran DPR RI belum lama ini.

Penggunaan teknologi informasi dalam layanan pemerintahan, tidak dinyana telah mengubah pola komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat, pemerintah dengan kalangan bisnis, maupun antar badan pemerintah itu sendiri. Jalur birokrasi yang biasanya melekat pada urusan yang berkaitan dengan badan-badan pemerintah otomatis akan terpangkas secara signifikan. E-Government memang sebuah kenyataan yang unik. Ia merupakan sebuah pelengkap bagi semangat demokrasi, sebuah gengsi bagi penyelenggaraan otonomi daerah, sekaligus ironi bagi kondisi faktual masyarakat. Hampir setiap daerah mencoba mengimplementasikannya dengan caranya masing-masing. Pada prinsipnya E-Government merupakan pemanfaatan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara Pemerintah dan pihak-pihak lain, baik terhadap masyarakat, kalangan bisnis, maupun sesama pemerintah.

Sebuah studi pernah diadakan oleh Mc. Cornell Internasional LLC, sebuah konsultan di Washington, tentang ketersediaan yang disebut oleh para analis sebagai ”e-readines)- terhadap 42 negara. Setiap Negara dinilai berdasarkan lima kategori : Ketersediaan dan akses jaringan, kepemimpinan pemerintah dan industri dalam mengusahakan e-busines dan e-government, kekuatan hukum dalam melindungi hak intelektual, ketersediaan tenaga kerja yang mendukung e-business, dan iklim e-business. Hasil negatif pada dua puluh tiga negara termasuk Indonesia, Cina, Rusia, dan Afrika Selatan, dimana dibutuhkan pengembangan substansial setidaknya pada dua bidang yaitu e-business dan e-government. Selain hasil studi tersebut, sebuah faktor yang secara tidak langsung membuat pemerintah mau tidak mau harus mengimplementasikan e-government adalah karena permintaan IMF, dimana IMF menghendaki standard government financial sistem tersendiri bagi semua pemerintah yang mendapatkan bantuan IMF.

Munculnya otonomi Daerah selain membawa semangat keterbukaan dan pemberdayaan masyarakat, juga telah menjadi tuntutan bahwa masyarakat butuh kecepatan informasi dan pelayanan prima, sehingga hal ini semakin mendesak pemerintah khusunya pemerintah daerah untuk segera mengiplementasikan e-government secara terintegrasi.

Desakan akan perlunya demokratisasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan memang menjadi sebuah tuntutan yang belum terlaksana sepenuhnya. Dengan melihat fakta pesatnya perkembangan teknologi informasi, pemerintah pusat mencoba menjawab tuntutan tesebut dalam sebuah konsep dan arsitektur pelaksaan e-government melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Instruksi tersebut menjadi penting bagi setiap pemerintah daerah seiring dengan semangat otonomi daerah yang dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dalam menjawab tantangan demokratisasi dan transparansi dalam kerangka otonomi daerah, kini pemerintah daerah berlomba-lomba untuk membangun infrastruktur e-government. Situs-situs resmi Pemerintah Daerah memang dapat menjadi sebuah ajang promosi bagi kawasan yang bersangkutan untuk menginformasikan potensi sosial ekonomi maupun pariwisata bagi para investor dalam dan luar negeri. Namun, tidak sedikit pula pemerintah daerah ataupun badan-badan pemerintah yang menganggap keberadaan e-government sebagai sebuah gengsi. Menurut pemantauan yang dilakukan oleh penulis, sebagian besar e-government yang ada di Indonesia jarang di update dan jumlah pengaksesnya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pembangunan situs-situs kepemerintahan belum menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat setempat. Masalah tersebut sesungguhnya juga turut dipengaruhi kondisi sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan masyarakat. Mengubah sistem kerja internal institusi pemerintah tidak semudah perusahaan swasta yang lebih luwes dalam mengadopsi teknologi dan melakukan penyesuaian. Yang pertama adalah jumlah penduduk yang melek internet (internet literacy) masih sedikit. Umumnya mereka yang melek internet adalah yang berada pada tingkat pendidikan menengah dan perguruan tingi. Dengan demikian, target E-Government untuk melibatkan partisipasi seluruh lapisan masyarakat belum terlaksana secara optimal. Kedua adalah karena faktor ekonomi. Sudah menjadi fenomena umum ditengah naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, masyarakat sudah tentu memprioritaskan pengeluaran uangnya untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Sementara itu internet adalah sebuah element jasa yang tidak berpengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat. Yang ketiga adalah karena pengelola situs itu yang melupakan sosialisasi e-government kepada masyarakatnya sendiri. Dalam artian, pemerintah daerah menyisihkan anggaran untuk sosialisasi e-government keluar sementara melupakan pengguna potensialnya, yakni masyarakatnya sendiri.

Masalah-masalah tersebut memang masih dapat dicarikan solusinya, misalnya pemerintah daerah perlu mensosialisasikan situs resmi melalui sekolah-sekolah dan ruang publik seperti perpustakaan. Tetapi pertanyaan yang harus dijawab lebih bersifat filosofis lagi. Apakah e-government sudah menjadi kebutuhan masyarakat kita? Apakah kita sudah siap untuk bertansformasi menjadi masyarakat digital di tengah himpitan ekonomi? Sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebuah konsekuensi ditengah maraknya pembangunan e-government sebagai sebuah trend di masyarakat kita. Lalu kita mungkin akan berpikir, apakah tidak sebaliknya dana yang digunakan pembangunan infrastruktur e-government dialihkan dulu untuk membangun fasilitas umum dan mengefisiensikan jalur birokrasi. Menurut panelis, konsep pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang mampu untuk mengayomi masyarakatnya.Dengan demikian, lebih baik kita mempunyai sistem layanan pemerintahan bersih, transparan, dan tidak birokratif daripada sebuah sistem e-government yang berjalan setengah hati. Implementasi e-government kebanyakan dimulai dari layanan yang sederhana yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai bentuk keterbukaan (transparansi) sehingga hubungan antar berbagai pihak menjadi lebih baik. Sedangkan informasi berupa data potensi daerah, statistik dan peluang usaha disajikan untuk kalangan bisnis maupun investor, sebagai upaya daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Layanan sederhana yang lain adalah sarana komunikasi baik internal pemerintah maupun komunikasi dengan pihak eksternal, dan media yang efektif digunakan saat ini adalah Email.

Layanan yang terintegrasi dapat dipilah dalam tiga level, yaitu Informasi, Interaksi, dan Transaksi. Dalam level informasi, pemerintah secara transparan mempublish ke website segala macam kebijakan, prosedur, aturan perundangan, aktifitas pemerintahan dan lain sebagainya. Pada level interaksi antara pemerintah dan masyarakat dapat melakukan komunikasi dua arah melalui media web maupun Email, sebagai upaya mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan daerah,tentunya hal ini sangat sejalan dengan semangat otonomi daerah. Sedangkan pada level Transaksi, pemerintah mengikutsertakan masyarakat secara terbuka untuk bertransaksi dengan pemerintah, misalnya dalam hal lelang maupun tender online, lebih jauh lagi pemerintah dapat memfasilitasi masyarakat dengan investor untuk melakukan kegiatan e-business.

Integrasi ketiga level tersebut secara fisik dapat diwujudkan dalam bentuk, apa yang kini populer disebut Portal, yaitu situs yang menyajikan segala macam informasi dan layanan serta yang tak kalah penting adalah terbentuk suatu komunitas secara virtual yang memanfaatkan portal tersebut sebagai media komunikasi dan bertransaksi.



Jumat, 20 Maret 2009

KEPEMIMPINAN ASTABRATA

Gubernur Kepri H. Ismeth Abdullah mengungkapkan, mulai Tahun 2007 mendatang pihaknya akan mencanangkan program good governance atau pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Wilayah Propinsi Kepri. (Batam Pos, 7 Desember 2006)

“Hingga pada gilirannya nanti, kondisi good governace ini juga merambah hingga ke pelosok pemerintahan desa atau kelurahan”, kata Gubernur Ismeth Abdullah

Lebih lanjut, Ismeth Abdullah dalam kaitan pemberian dana bantuan keuangan pemerintahan desa/kelurahan mengharapkan kepada aparatur pemerintahan desa untuk membuat laporan keuangan yang baik, karena setiap kegiatan dan pengeluaran dana akan diperiksa oleh auditor, sehingga bisa dipertanggungjawabkan.

Genderang perang terhadap perilaku korupsi telah ditabuh di Wilayah Propinsi Kepri dimulai Tahun 2007, walaupun kata yang tepat untuk pemerintahan yang bersih Tahun 2007 di Kepri adalah “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”. Paling tidak, Ismeth Abdullah telah memimpin Kepri lebih dari satu tahun, sejak menjadi pejabat sementara hingga Gubernur Definitif hasil pemilihan umum Gubernur, beberapa waktu yang lalu.

Bak gayung bersambut, secara bersamaan Ibu Hj. Aida Ismeth Abdullah, anggota DPD dari Propinsi Kepri yang nota bene adalah ibu gubernur, mencanangkan Gerakan Masyarakat Perduli Akhlak Mulia disingkat GMPAM di Wiilayah Propinsi Kepri mulai Tahun 2007.

Pencanangan pemerintahan yang bersih lebih menyangkut pada pembenahan perilaku pejabat publik sebagai pelayan masyarakat, sementara GMP-AM adalah keterlibatan langsung masyarakat untuk saling mengingatkan dalam menyikapi perilaku yang tidak sesuai dengan moralitas, atau dalam Islam disebutkan ammar ma’ruf nahi munkar.

Dua gerakan yang menurut hemat penulis memiliki relevansi untuk saling mendukung keberhasilannya. Disatu sisi, Gubernur akan menyentuh seluruh komponen birokrasi disemua tingkatan didalam rangka mendiptakan pemerintahan yang bersih, disisi lain Ibu Aida melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di Wilayah Propinsi Kepri, sebagaimana disampaikan Ibu Aida yang didampingi Sekdaprop Bapak Eddy Widjaja dalam pertemuan pencanangan GMPAM di Kantor Gubernur Sekupang, Sabtu, 9 Desember 2006, bahwa “Gerakan Masyarakat Perduli Akhlak Mulia melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di Wilayah Propinsi Kepri, mulai dari Ormas, OKP, Paguyuban, Tokoh-tokoh masyarakat, Tokoh-tokoh Agama, secara lintas agama, lintas suku dan ras, yang memiliki keperdulian terhadap akhlak yang mulia”.

***
Transparency International memberikan definisi korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. (Wikipedia Indonesia)

Dalam tingkatan yang sederhana, korupsi dilakukan oleh oknum pelakunya masih dilandasi demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau kepepet oleh tekanan hidup. Untuk jenis korupsi yang ini, masih mudah dalam melakukan upaya pelacakannya.

Pada tahap yang selanjutnya, pola korupsi telah bergerser pada motivasi system yang terbangun atas dukungan kerjasama antara pelaku-pelaku korupsi diberbagai tingkatan birokrasi, demi memperkaya diri, keluarga dan orang-orang terdekatnya dengan menghalalkan segala cara. Untuk korupsi yang ini merupakan korupsi yang sudah tersistem atau dikenal dengan korupsi berjama’ah yang sifatnya berantai dan saling melindungi satu sama lainnya, sehingga upaya pelacakannyapun menjadi semakin sulit.

Menurut Teten Masduki Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), “Yang menarik, perang melawan korupsi sistematis harus menjadi bagian dari perbaikan yang lebih luas, bagian dari upaya untuk membenahi administrasi pemerintah, menjadi alat untuk meningkatkan mutu pelayanan umum, dan reformasi demokrasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik. Dalam hal ini pemberantasan korupsi tidak sekadar menekankan pada upaya pendekatan represif, menyeret orang per orang ke meja hijau, atau lebih banyak membangun lembaga kontrol, lebih banyak undang-undang, tetapi juga lebih menekankan pada pencegahan dengan fokus pada reformasi sistem yang rentan bagi terjadinya penyimpangan”

KLITGAARD dalam bukunya, Membasmi Korupsi (1998), memang senantiasa menekankan bahwa pencegahan korupsi dengan melakukan perubahan sistem melalui pendekatan komprehensif dalam jangka panjang jauh lebih penting daripada pendekatan hukum untuk merepresi orang per orang aktor korupsi.

Dalam konteks ini, mungkin menjadi berkurang manfaatnya, apabila upaya menciptakan pemerintahan yang bersih yang seluas-luasnya, bahkan sampai ke tingkat pemerintahan desa sekalipun, apabila sistem tetap terbuka dan memberikan peluang untuk dapat melakukan tindakan tercela tersebut.

Tentu, tanpa bermaksud mengecilkan arti Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi disingkat GNPK Propinsi Kepri, yang kebetulan menyelenggarakan Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia secara nasional, tanggal 9 Desember 2006 di Kota Batam, ketika hanya dikemas secara seremonial saja, maka sasaran menciptakan pemerintahan yang bersih masih sangatlah jauh untuk dapat dicapai. Diperlukan kemauan dan kerja keras dalam bentuk tindakan nyata yang berkesinambungan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat.

***
Keteladan pemimpin disemua tingkatan birokrasi sepertinya menjadi kata kunci bagi keberhasilan menciptakan pemerintahan yang bersih. Gubernur, Walikota atau Bupati, Camat dan Lurah atau Kepala Desa harus mampu menunjukkan perilaku yang bermoral dan berakhlak mulia sebagai pelayan masyarakat.
Tidaklah keliru berharap pada pemimpin untuk memberikan teladan dan kepeloporannya dalam memutus mata rantai korupsi di dalam sistem politik, hukum, dan birokrasi. Ada beberapa kisah sukses pemberantasan korupsi di sejumlah negara yang memperlihatkan peranan besar sang pemimpin, entah itu presiden atau setingkat wali kota. Misalnya, di Hong Kong, Pemerintah Kota New York di Amerika Serikat, dan Kota La Paz di Bolivia (Klitgaard, 2000). Atau Singapura yang relatif sukses membasmi korupsi dalam tubuh birokrasi dan hukum. (Teten Masduki)

Kemerosotan moral dan akhlak merupakan roh jahat yang mendorong suburnya praktek korupsi dinegeri tidak lain karena struktur dan tatanan negara yang tercipta belum tergolong sebagai negara yang memiliki pemerintahan yang bersih (clean government ) sehingga sangatlah wajar bila segala bentuk kehancuran struktural yang ada saat ini merupakan akumulasi dari tidak adanya supermasi hukum yang mengatur setiap tatanan negeri ini.

Bagi Propinsi Kepri, Tahun 2007 merupakan tahun pengharapan dan pencerahan dengan dicanangkannya Pemerintahan Yang Bersih dan GMP-AM , sehingga diharapkan akan tercipta pemerintahan yang madani, yaitu pemerintahan yang bermartabat, pemerintahan yang tunduk pada supremasi hukum tanpa memilah-milah atau pandang bulu, pemerintahan yang menghargai keberagaman.

Hukum diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakan supermasi hukum sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung secara konstitusional.

Tidaklah berlebihan apabila penulis berharap kepada Bapak Gubernur dan Ibu Aida agar lebih meningkatkan intensitas komunikasinya diluar masalah keluarga tentunya, dalam merancang pencanangan dua program besar bagi perbaikan kehidupan masyarakat Kepri di masa-masa mendatang. Pemerintahan yang bersih tergantung pada tingkat keperdulian masyarakatnya pada akhlak yang mulia serta bagaimana moralitas pemimpinnya, bukan tergantung figur atau kewibawaan semata.

GOOD GOVERNANCE

Bila saya mengingat kembali tentang pelajaran Ilmu Negara yang pernah diajarkan ketika masih tingkat pertama di fakultas hukum, maka negara itu terbentuk oleh karena adanya kehendak rakyat yang menyatakan diri secara sukarela untuk bersatu dengan menentukan hukum dan kebiasaan apa yang menjadi anutan atau kepatuhan yang mereka sepakati bersama.Soal berbagai teori tentang bagaimana sebuah negara itu terbentuk memiliki sejarah yang cukup lama, yang jelas rakyat yang membuat sebuah negara hampir semuanya menginginkan adanya kemakmuran, ketenangan serta kesehjahteraan.

Bila kemudian ada negara yang pemimpinnya berubah menjadi sepert Hitler ataupun Slobadan Milosovic itu merupakan pemimpin yang dapat digolongkan sebagai "penjahat perang" yang wajib diajukan kemahkamah internasional dan segera dijatuhkan hukum mati buat mereka. Jadi bila kita mengadaikan apa yang terjadi dengan Indonesia saat ini, memang kita harus kembali mengingat apakah negara ini sejak diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan saat ini telah memberikan kemakmuran dan kesehjahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bila kita menggunakan angka sebagai logika untuk jawaban ini, maka sejak tahun 1945 yang tentunya 200 juta bangsa ini masih banyak yang hidup digaris kemiskinan.Bukankah kalau begitu pemimpin bangsa ini tidak berhasil untuk menjalankan amanat dengan format negara kesatuan yang telah disepakati, jawaban bisa ia bisa tidak, tergantung dari mana anda dan apa yang telah anda rasakan selama ini. Persoalan bukan itu saja namun bagaimana negara yang diwakili oleh organisasi pemerintahannya harus berjalan sesuai dengan ketentuan hukum yang menjadi kesepakatan dan bukan sebaliknya rakyat beserta sumber alam yang ada menjadi objek hukum yang memberikan legitimasi untuk diexploitasi oleh sekelompok atau segolongan manusia yang tinggal di negeri ini.

Kemerosotan moral dan akhlak yang menjadi roh jahat yang mendorong subur praktek korupsi dinegeri tidak lain karena struktur dan tatanan negara yang tercipta belum tergolong sebagai negara yang memiliki pemerintahan yang bersih (clean government ) sehingga sangatlah wajar bila segala bentuk kehancuran struktural yang ada saat ini merupakan akumulasi dari tidak adanya supermasi hukum yang mengatur setiap tatanan negeri ini.

Hukum diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakan supermasi hukum sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung secara konstitusional. Oleh sebab itu reformasi hukum yang sedang berjalan saat ini hanya akan berhasil dan memiliki efektifitas bagi kesehjahteraan rakyat bila pemerintahan yang akan datang merupakan pemerintahan yang bersih.